Minggu, 16 Desember 2012

HUKUM SYAR'I


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari hukum, dan bagaimana pembagiannya?
2.      Apa pengertian, syarat, macam dan hal-hal lain yang terkait dengan mahkum bih?
3.      Apa pengertian dari mahkum’alaih dan apa saja yang terkandung di dalamnya?

C.    Tujuan
1.      Menjelaskan makna hukum, dan menguraikan pembagiannya.
2.      Menjelaskan makna mahkum bih dan hal-hal yang terkait di dalamnya.
3.      Menjelaskan makna mahkum ‘alaih dan hal-hal yang terkait di dalamnya.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Syar’i
1.                  Definisi Hukum
Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf rahimahullah, dalam kitab beliau ‘Ilm Ushul al-Fiqh:
خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا
“Seruan asy-Syari’ yang berhubungan dengan aktivitas mukallaf, berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan.” (lihat ‘Ilm Ushul al-Fiqh halaman 100)
Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili, dalam kitab beliau al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh:
خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء أو التخيير أو الوضع
“Seruan Allah ta’ala yang berhubungan dengan aktivitas mukallaf, berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan.” (lihat al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh halaman 119)
Yang dimaksud dengan khitab Allah  dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil , baik Al Qur’an, As Sunnah maupun dalil syar’i yang lain seperti ijma’ dan qiyas. Namun, menurut ulama’ ushul kontemporer, seperti Ali Hasaballah dan Abdul Wahhab Khallaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanyalah Al Qur’an dan As sunnah saja. Sedangkan ijma’ dan qiyas hanya berfungsi sebagai penjela dari hukum-hukum yang telah ditulis dalam Al Qur’an dan As sunnah. Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua dalil tersebut  tidak semestinya disebut sumber hukum.[1]
2.                  Pembagian Hukum
Dari definisi hukum di atas, maka hukum menurut ulama ushul terbagi dalam dua bagian, yaitu :
v  Hukum Taklifi
Yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan.
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat adalah firman Allah SWT :
خذ مِن أموالهم صدقة
 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (Q.S. At-Taubah : 103).
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat adalah firman Allah SWT :
لا يسخر قوم من قوم
“Janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain” (Q.S. Al-Hujurat:11).
Contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan meninggalkan adalah firman Allah SWT :
وإذا حللتم فاصطادوا
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu” (Q.S. Al-Maidah : 2).


Ø  Bentuk hukum taklifi menurut ulama ushul fiqh (mutakallimin)
·         Ijab
Tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya akan dikenai sanksi. Misalnya dalam QS. An Nur : 56


“Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat…”
·         Nadb
Tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Misalnya dalam QS. Al Baqarah : 282



“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai (hutang) dalam waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya…”
·         Ibahah
Khitab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Misalnya dalam QS. Al Maidah : 2

وإذا حللتم فاصطادوا
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu”



·         Karahah
Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan tersebut tidak bersifat memaksa. Misalnya dalam hadits Nabi SAW yang berbunyi :



“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak”

·         Tahrim
Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Misalnya dalam QS. Al An’am : 151


“…janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah…”
Ø  Bentuk hukum taklifi menurut ulama Hanafiyyah
·         Iftiradh
Tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan berlandaskan dalil yang qath’i. Misalnya, tuntutan untuk melaksanakan sholat dan membayar zakat.
·         Ijab
Tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa, tetapi melalui dalil zhanni (relative benar). Misalnya, kewajiban membayar zakat fithrah.
·         Nadb
Maksudnya sama dengan yang dikemukakan jumhur ulama mutakallimin.
·         Ibahah
Maksudnya sama dengan yang dikemukakan jumhur ulama mutakallimin.
·         Karahah Tanzihiyyah
Tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misalnya, larangan puasa pada hari jum’at.
·         Karahah Tahrimiyyah
Tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan pada dalil yang zhanni.
·         Tahrim
Tuntutan Allah kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan secara memaksa dengan dalil qath’i. Misalnya larangan berzina (QS. An Nur : 2).

v  Hukum Wadh’i
Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah firman Allah yang mengandung pengertian terjadinya sesuatu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang.
Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adalah


“Dan dirikanlah sholat setelah matahari tergelincir..” (QS. Al Isra’ : 78).
Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan  sebab wajibnya sholat.
Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat  adalah


“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).” (QS. An Nisa : 6)
Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.
Contoh khittab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang adalah

“Pembunuh tidak mendapat warisan.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
Ø  Macam-macam hukum wadh’i
·         Sebab
Sifat yang nyata dapat diukur yang dijelaskan oleh nash (al-qur`an dan hadis) bahwa kebenarannya menjadi sebab adanya hukum.
·         Syarat
Sesuatu yang berada di luar hukum syarak tetapi keberadaan hukum syarak tergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada hukum pun tidak ada. Misalnya wudhu adalah syarat sahnya sholat.
·                     Mani’ (penghalang)
Sesuatu yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum.
·                     Shahihah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syar’I, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’ (penghalang).
·                     Bathal
Yaitu terlepasnya hukum syar’i dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkan. Misalnya memperjual belikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syar’i.
·          ‘Azimah dan Rukhshah
Azimah yaitu peraturan Allah SWT yang asli san tersurat pada Nas (al-qur`an dan hadis). Rukhsah yaitu ketentuan yang disyariatkan oleh Allah SWT sebagai keringanan yang diberikan kepada mukalaf dalam keadaan-keadaan khusus. Contoh : bagi orang yang dalam perjalanan jauh diber keringan untuk mengerjakan salat zuhur diwaktu Ashar dan shalat maghrib di waktu Isya.

v    Perbedaan Hukum Taklif dengan Hukum Wadh’i
·         Hukum taklif mengandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Hukum wadh’i mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantaranya dapat dijadikan sebab, syarat atau penghalang.
·         Hukum taklif harus sesuai dengan kemampuan mukallaf.
·         Hukum taklif ditujukan kepada mukallaf, yaitu orang yang baligh dan berakal. Hukum wadh’i ditujukan kepada manusia secara umum.
B.     Mahkum bih
1.      Definisi
Yang dimaksud dengan mahkum bih (objek hukum) adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ushul fiqh, mahkum bih atau objek hukum ialah sesuatu yang berlaku padana hukum syar’i.

2.      Syarat
·         Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan.
·         Mukallaf harus mengetahui sumber taklif.
·         Perbuatan harus mungkin dilaksanakan atau ditinggalkan.





C.    Mahkum ‘alaih
1.      Definisi
Yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih (subjek hukum) adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
2.      Syarat
·         Seseorang telah mampu memahami khittab syar’i (tuntutan hukum) yang terkandung dalam nash.
·         Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyyah. Ahliyyah adalah kecakapan menangani suatu urusan.




















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Hukum Islam atau disebut juga hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’i yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau ketetapan.
2.      Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
3.      Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu ijab, nadb, tahrim, karahah, dan ibadah.
4.      Hukum Wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadh’i dibagi menjadi tiga, yaitu sebab, syarat, mani’. Namun sebagian ulama memasukkan sah, fasad dan batal serta azimah dan rukhshah.
5.      Mahkum bih (objek hukum) adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ushul fiqh, mahkum bih atau objek hukum ialah sesuatu yang berlaku padana hukum syar’i.
6.      Mahkum ‘alaih (subjek hukum) adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.

B.     Saran
Studi ini baru merupakan studi yang dangkal mengenai hukum syar’i. Untuk itu disarankan kepada para akademisi untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dan lebih mendetail terhadap persoalan tersebut. Pada tatanan praktis disarankan kepada generasi muda untuk memperkaya ilmu pengetahuan tentang dunia agama khususnya ilmu ushul fiqh





























DAFTAR PUSTAKA

‘Ilm Ushul al-Fiqh, karya Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah, Syabab al-Azhar
al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, karya Dr. Wahbah az-Zuhaili, Penerbit Daar al-Fikr,
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia.
Effendi, Satria. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana
Dr.H. Nasrun Haroen, M.A. ushul fiqh 1. Jakarta: Logos wacana ilmu, 1997



















MAKALAH
HUKUM SYAR’I
Disusun untuk memenuhi Tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen pengampu : Drs. H.Khusaeri

iain.JPG

Disusun oleh :
Chelin Indra Sushmita
Eka Nur Widi


PRODI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNIKASI
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
IAIN SURAKARTA
NOVEMBER 2012


[1] Syafe’i, Rahmat. 2010.  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia. Halaman 295.

1 komentar:

  1. Blackjack Casino - Mapyro
    Find 서귀포 출장마사지 casino, slot machines, poker tables, blackjack at the casino, 광양 출장샵 인천광역 출장샵 blackjack at the 천안 출장샵 casino, blackjack at the casino, blackjack at the casino, blackjack at the casino, blackjack at 아산 출장샵 the casino, blackjack at the casino,

    BalasHapus