MAKALAH
PENDEKATAN STUDI ISLAM
Makalah
ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Metodologi Studi Islam
Dosen
pengampu: H.M. Syakirin Al Ghazali, Ph. D
Disusun
oleh:
Chelin Indra Sushmita (121211003)
PRODI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
JURUSAN
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN DAKWAH
IAIN
SURAKARTA
DESEMBER
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT sumber segala kekayaan di dunia ini, yang telah
memberikan rezeki yang berlimpah berupa harta yang dititipkan kepada manusia
sebagai amanah di muka bumi. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW manusia pilihan yang telah menyampaikan wahyu
kepada umatnya yang dapat menerangi kehidupan umat Islam hingga akhir zaman.
Berkat rahmat dan inayah Allah SWT akhirnya
Makalah ini dapat terselesaikan meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Metodologi
Studi Islam. Serta untuk
mengetahui secara global mengenai metode memahami agama Islam.
Terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung terselesaikannya Makalah ini. Tak ada gading yang tak retak. Demikian
pula dengan Makalah ini tidak lepas dari kekurangan.karena memang kesempurnaan
yang hakiki hanyalah milik Allah semata.
Oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat
membangun dan memperbaiki sangat kami harapkan demi perbaikan kualitas makalah
ini. Semoga sumbangsih Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca budiman.
Amien.
Surakarta, 12 Desember 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... ...... i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ..... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah ................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah ............................................................................. 2
C.
Tujuan
............................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendekatan...................................................................... 4
B.
Pendekatan Antropologis................................................................. 4
C.
Pendekatan Feminis..................................................................... ..... 8
D.
Pendekatan Fenomenologis............................................................... 9
E.
Pendekatan Filologis.................................................................... ... 10
F.
Pendekatan Filosofis.................................................................... ... 11
G.
Pendekatan Hermeneutik............................................................. ... 13
H.
Pendekatan Historis..................................................................... ... 14
I.
Pendekatan Psikologis................................................................. ... 16
J.
Pendekatan Sosial-Budaya.......................................................... ... 17
K.
Pendekatan Sosiologis................................................................. ... 18
L.
Pendekatan Teologis................................................................... ... 20
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan...................................................................................... 23
B.
Saran............................................................................................ ... 26
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... ... 27
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada awal tahun 1970-an berbicara
mengenai penelitian agama dianggap tabu. Orang akan bertanya: kenapa agama yang sudah begitu
mapan mau diteliti; agama adalah wahyu Allah. Sikap serupa juga terjadi di Barat. Dalam pendahuluan
buku Seven Theories Of Religion
dikatakan, dahulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemumgkinan meniliti
agama. Sebab, antara ilmu dan nilai serta antara ilmu dan agama (kepercayaan),
tidak bisa disinkronkan.[1]
Namun gelombang perhatian
terhadap agama belakangan ini meningkat tajam. Agama yang dalam kerangka
positivisme
disertakan dengan “mitos” dan karenanya diramalkan akan tenggelam dilibas
kekuatan “ideologi” dan “ilmu pengetahuan”, kini kian menunjukkan nyalanya.[2]
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut
agar ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi
umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau
berhenti sekadar disampikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional menunjukkkan
cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Diketahui bahwa Islam sebagai agama yang memiliki
banyak dimensi, yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi,
politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian,
sampai pada kehidupan rumah tangga, dan masih banyak lagi. Untuk memahami
berbagai dimensi ajaran Islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang
digali dari berbagai disiplin ilmu. Di dalam Al Qur’an yang merupakan sumber ajaran
Islam, misalnya dijumpai ayat-ayat tentang proses pertumbuhan dan perkembangan
anatomi tubuh manusia. Untuk menjelaskan masalah ini jelas memerlukan dukungan
ilmu anatomi tubuh manusia. Selanjutnya untuk membahas ayat-ayat yang
berkenaaan dengan masalah tanaman dan tumbuh-tumbuhan jelas memerlukan bantuan
ilmu pertanian.
Berkenanaan dengan pemikiran diatas, maka kita
perlu mengetahui dengan jelas pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam
memahamai agama. Hal ini perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut
kehadiran agama secara fugsional dapat dirasakan oleh penganutnya.[3]
Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama
menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya
masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak
boleh terjadi.
Ditinjau dari perspektif pendekatan
yang digunakan, studi Islam menggunakan berbagai macam pendekatan. Hal ini sangat
menarik untuk dikaji untuk mengetahui pendekatan apa saja yang digunakan untuk
mengkaji islam. Namun apa yang dipaparkan dalam makalah ini bukanlah sebuah
uraian yang utuh, melainkan hanya sebagian dari aneka pendekatan yang digunakan
dalam mengkaji Islam.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
rumusan masalah pada malah ini adalah :
1. Apa
pengertian dari pendekatam dalam kaitannya dengan studi agama?
2. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Antropologis?
3. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Feminis?
4. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Fenomenologis?
5. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Filologi?
6. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Filosofis?
7. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Hermeneutik?
8. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Historis?
9. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Psikologis?
10. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Sosial-Budaya?
11. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Sosiologis?
12. Bagaimana
pemahaman agama bila dilihat dari pendekatan Teologis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendekatan
Dalam
mempelajari agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar substansi dari agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin
Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai
dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah
penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, penelitian legalisti, atau
penelitian filosofis.
Berbagai pendekatan manusia dalam
memahami agama dapat melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini
semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan
hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami
semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama
hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai
fitrah yang diberikan Allah kepadanya.[4]
B.
Pendekatan Antropologis
Antropologi adalah ilmu tentang
manusia khususnya tentang asal-usul, neka warna bentuk fisik, adat istiadat,
dan kepercayaan pada masa lampau.[5]
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mengkkaji masalah
manusia dan budayanya. Ilmu ini bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman
totalitas manusia sebagai makhluk hidup, baik di masa lampau maupun masa
sekarang. Antropologi itu tidak lebih dari suatu usaha untuk memahami
keseluruhan pengalaman sosialnya. Maka hasil maksimum yang diperoleh dari
antropologi adalah fenomena yang menunjukkan adanya Tuhan.[6]
Pendekatan antropologis dan studi
agama membuahkan antropologi agama yang dapat dikatakan sebagian dari
antropologi budaya, bukan antropologi sosial. Metode antropologi pada umumnya
adalah objek sekelompok manusia sederhana dalam kebudayaan hidupnya. Jadi,
studi antropologis terhadap agama saat ini tidak didasarkan pada data penentuan
laporan, melainkan hanya berdasarkan dari tulisan dan laporan kisah perjalanan
ahli antropolog.[7]
Pendekatan antropologi dalam
memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan
melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh berkembang dimasyarakat. Melalui
perndekatan ini agama tamapak lebih akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dalam berbagai
penelitian antropologi, agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara
kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik golongan masyarakat yang
kurang mampu. Pada umumnya mereka lebih tertarik kepada gerakan-gerakan
keagamaan yang menjanjikan perubahan tatanan sosial masyarakat. Sedangkan
golongan orang yang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan
masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan
pihaknya.
Melalui pendekatan antropologi sosok
agama yang berada pada daratan empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan
latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi
berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata yang terjadi di
masyarakat. [8]
Dalam pendekatan ini kita melihat bahwa
agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu
masyarakat. Dalam hubungan ini, jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos
kerja seseorang maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaan.
Selanjutnya melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam
hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian.
Salah satu konsep terpenting dalam
antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik sosial harus
diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang
berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para
antropolog harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, kekeluargaan dan
politik, magic dan pengobatan secara bersama-sama, maka agama tidak bisa
dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik
sosial lainnya.[9]
Obyek
studi antropogis terhadap agama ini adalah model-model keagamaan misalnya mite,
upacara, totem, dan lain-lain. Menurut Anthoni Jackson obyek ini ada 4 kelompok
:
·
Modus pemikiran
primitif meliputi masalah kepercayaan, rasionalitas dan klasifikasi sistemnya,
semacam soal totem.
·
Bagaimana pemikiran dan
perasaan dikomunikasikan, seperti melalui simbol dan mite.
·
Teori dan praktik
keagamaan yang biasanya topik sentralnya adalah ritus.
·
Praktik ritual
sampingan seperti soal magic, ekstase dan orakel.
Monograf
atau penggambaran model keagamaan masyarakat sederhana yang menjadi obyek
pendekatan antropologis, adapula yang menggunakan model lain atau aliran-aliran
dalam antropologi agama, diantaranya :
a.
Aliran Fungsional
Tokoh aliran
fungsional diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942).
Malinowski berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional,
walaupun sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak
rasional. Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang
pemikiran masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta
menyatakan pandangan mereka tentang dunia.
b. Aliran
Historis
Tokoh aliran
antropologi historis ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ciri-ciri
antropologi historisnya adalah :
·
Seperti halnya sejarah,
berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya
menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti
sendiri.
·
Seperti halnya
pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan
kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis
structural.
·
Struktur masyarakat dan
kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan
yang berbeda.
E.E.Evans
Pritchard berpendapat bahwa masyarakat primitif sebenarnya juga berpikir
rasional seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku Nuer, ia
menganalisis arti konsep-konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer seperti Kowth
yang berarti semacam hantu, berusaha menemukan motif-motif tradisi lisan
mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol dan ritus-ritus mereka. Disamping
itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin menemukan apa yang
dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan segala yang berada
di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara sosial.
c.
Aliran Struktural
Tokoh pendekatan
antropologi struktural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya
adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa
dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara
alam dan budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang
diteliti. Baginya alam mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam
diartikan segala sesuatu yang diwarisi manusia oleh manusia dari manusia
sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta
dipelajari. Sedangkan budaya adalah segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi
sehingga akan berisikan semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan
manusia primitif. Jadi antropologi struktural yaitu pemikiran-pemikiran yang
mendasari semua tingkah laku dan agama masyarakat primitif.
Melalui pendekatan antropologi
terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia,
dan dengan itu pula agama terlihat akrab dn fungsional dengan berbagai fenomena
kehidupan manusia. Pendekatan antropologi seperti itu diperlukan adanya, sebab
banyak berbagai hal dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas
melalui pendekatan antropologi. Artinya manusia dalam memahami ajaran agama,
dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi dan cabang-cabangnya.
C.
Pendekatan Feminis
Pendekatan feminis dalam studi agama
tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoretis yang
ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Sebagaimana
agama, feminis memberi perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia
pada tingkat yang paling dalam, didasarkan pada banyak pandangan
interdisipliner baik dari antropologi, teologi, sosiologi dan filsafat. Tujuan
utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat
persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian,
dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara satu dengan
yang lain.
Perkebangan teoretis belakangan
dalam studi keagamaan perempuan menunjukkan bahwa disamping mencari asal status
inspirasional seluruh perepuan masa lampau, juga memunculkan pertanyaan yang
perlu dijawab mengenai dinamika historis agama, gender, dan kekuasaan.
Sebagai hasilnya, pendekatan feminis
telah dan terus berfungsi sebagai suatu percobaan untuk menguji kemampuan agama
dalam mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam konteks pluralitas
kontemporer dan menghadapi tantangan postmodernitas. [10]
D.
Pendekatan Fenomenologis
Fenomenologi merupakan salah satu
pendekatan yang unik diantara banyak pendekatan dalam studi islam. Pendekatan
fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren
bagi studi agama. Namun jika ditinjau dari segi sejarah, fenomenologi
sebenarnya telah lama digunakan.
Sejak zaman Edmund Husserl
(1859-1938), arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi
berpikir. Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai
pendirinya. Dalam pandangan Husserl, fenomenologi adalah suatu disiplin
filsafat yang solid dengan tujuan membatasi dan melengkapi penjelasan
psikologis murni tentang proses pikiran.
Objek studi fenomenologi adalah
perbedaan berbagai bidang objek, yang disebut neomata, yaitu cirri-ciri yang membuat kesadaran orang menjadi
kesadaran terhadap objek. Untuk memahami fenomenologi Husserl, orang harus
paham istilah neoma. Neoma adalah kumpulan semua sifat objek,
neoma ini tidak lain hanyalah sebuah generalisasi ide tentang makna mengenal
lapangan segala tindakan.
Orientasi fenomenologi adalah bahwa
pengertian yang benar adalah pengertian yang asli dan bersih, yang ditempuh
dengan jalan reduksi. Sifat pokok dari fenomenologi adalah realitas atau fakta
berbicara dalam suasana intention. Dalam
konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk
memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik
fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan,
mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok.
Pada intinya ada tiga tugas yang
harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga, meneliti tingkah laku keagamaan.[11]
Sedangkan bidang garap
fenomenologi
adalah: pertama, menerangkan apa yang
sudah diketahui yang terdapat dalam sejarah agama, tetapi dengan caranya
sendiri. Kedua, fenomenologi berusaha menyusun bagian pokok
agama atau sifat alamiah agama, yang juga faktor penamaan dari semua agama. Ketiga, fenomenologi tidak mempersoalkan
apakah gejala keagamaan itu benar, apakah bernilai, dan bagaimana dapat menjadi
demikian, atau menentukan lebih besar atau kecilnya nilai keagamaan mereka.[12]
E.
Pendekatan Filologis
Tampaknya
penelitian agama memang tidak dapat dipisahkan dari aspek bahasa, karena
manusia adalah makhluk berbahasa sedangkan doktrin agama dipahami, dihayati dan
disosialisasikan melalui bahasa. Sesungguhnya pengertian bahasa amat luas dan
beragam seperti bahasa isyarat, bahasa tanda, bahasa bunyi, bahkan bahasa manusia,
bahasa binatang dan bahasa alam. Melalui bahasa manusia dan makhluk-makhluk
lain dapat berkomunikasi.
Pembahasan
berikut ini mengenai pengertian bahasa yang dipersempit dan diartikan sebagai
kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau memerintah. Dalam kehidupan
sehari-hari kita bisa merasakan perbedaan antara bahasa iklan, bahasa politik,
bahasa ilmu pengetahuan maupun bahasa obrolan penuh persahabatan. Jika kita
memahami sebuah wacana hanya dari segi ucapan literalnya, maka kita bukannya
disebut orang jujur dan lugu, melainkan orang yang bodoh dan tidak komunikatif
sebagai makna sebuah kata ataupun kalimat selalu berkaitan dengan konteks. Hal
demikian juga terjadi dalam bahasa agama, karena di dalam bahasa agama banyak
digunakan bahasa simbolik dan metaforik, maka kesalahpahaman untuk menangkap
pesan dasarnya mudah terjadi. Sekaligus untuk menghindari kesalahpahaman,
sebaiknya kita sepakati lebih dahulu apa pengertian bahasa agama serta apa saja
cakupan masalahnya. Istilah bahasa agama menunjuk pada tiga macam bidang kajian
dan wacana. Pertama, ungkapan-ungkapan
yang digunakan untuk menjelaskan obyek pemikiran yang bersifat metafisi,
terutama tentang Tuhan. Kedua, bahasa kitab suci terutama bahasa
Al-Qur'an dan Ketiga bahasa
ritual keagamaan.
F.
Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis dalam studi
agama saat ini sedang mengalami krisis identitas. Dua pertanyaan berikut akan
memperjelas watak krisis ini. Pertama, “di
mana” pendekatan filosofis dalam studi agama dapat ditemukan? Pertanyaan ini
penting karena dalam menjawabnya kita dipaksa berpikir. Akan tetapi pertanyaan
ini tampaknya tidak menemukan jawaban yang jelas. Kita dapat menemukan orang
yang menggunakan pendekatan filosofis dalam studi agama di departemen filsafat,
departemen studi keagamaan, departeen teologi, dan departemen kemanusiaan.
Kedua, mengapa banyaknya tempat atau konteks yang berbeda-beda menyebabkan krisis
identitas? Lagi-lagi, tidak mengherankan tampak tidak ada jawaban tunggal yang
dikemukakan atau kesepakatan yang dicapai. Terdapat suatu kesepakatan bahwa
kita menghadapi wilayah kepentingan yang luas, sehingga secara natural akan
terjadi ketidaksepakatan bahkan perpecahan.
Maka ada dua hal yang muncul ke
permukaan yaitu: pertama, tidak
mungkin membicarakan pendekatan filosofis terhadap agama, karena terdapat
banyak pendekatan filosofis dan sejak awal harus berhati-hati dalam
mengidentifikasi secara pasti bentuk pendekatan mana yang digunakan. Kedua, pendekatan yang digunakan akan
bergantung pada konteks di mana orang itu melakukan penelitian. Pada tingkat
yang luas, konteks akan menentukan apa yang dipahami seseorang untuk dilakukan.
Dan adalah penting bagi siapa pun yang menggunakan pendekatan filosofis yang
distingif dalam studi agama berarti menyadari apa konteksnya dan apa
konsekuensinya yang akan mereka dapatkan.
Dalferd menyatakan ketika kita
mengkaji agama, tidak mungkin menghindari penggunaan filsafat. Suatu pendekatan
filosofis terhadap agama merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam
pengalaman keagamaan prateologis dan dalam wacana keyakinan. Dengan kata lain,
tugas filsafat adalah melihat persoalan-persoalan yang melingkupi pengalaman
manusia, faktor-faktor yang menyebabkan pengalaman manusia menjadi pengalaman
religius, dan membahas bahasa yang digunakan umat beriman dalam membicarakan
keyakinan mereka. Bagi Dalferd rasionalitas kerja reflektif agama dalam proses
keimanan yang menuntut pemahaman itulah yang meniscayakan adanya hubungan
antara agama dengan filsafat.
Keterkaitan antara keduanya terfokus
pada rasionalitas, kita dapat menyatakan bahwa suatu pendekatan filosofis
terhadap agama adalah suatu proses rasional. Yang dimaksud proses rasional
disini mencakup dua hal, yaitu: menunjukkan fakta bahwa akal memainkan peran
fundamental dalam refleksi pengalaman dan keyakinan keagamaan dalam suatu
tradisi keagamaan serta dalam menunjukkan keimanan, tradisi keagamaan harus dapat
menggunakan akal dalam membuat argumenlogis yang dapat dibenarkan.
Pada akhirnya, tujuan berbagai
pendekatan filosofis dalam studi agama adalah memberikan perangkat-perangkat
berfikir tentang sesuatu dan berbincang-bincang dengan orang lain. Anda
berfilsafat hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, menguji ide-ide,
ingin tahu ke mana alur pemikiran berjalan. Suatu pendekatan filosofis terhadap
agama tidak perlu dibedakan, ini adalah eksperimentasi.[13]
G.
Pendekatan Hermeneutik
Kata hermeneutik berasal dari kata
kerja Yunani hermeneunien yang
berarti mengartikan, menafsirkan, menrjemahkan, bertindak sebagai penafsir.[14]
Munculnya hermeneutik bertujuan untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan
yang harus diikuti dalam menafsirkan sebuah teks dari masa lampau, khususnya
teks kitab suci dan teks klasik. Hermeneutik dibutuhkan karena teks merupakan
simbol yang mengandung makna ketika dilihat oleh pembaca, karena pada saat itu
pembaca disudutkan pada dua kondisi yang berbarengan yaitu akrab atau kenal
kdan asing dengan teks.
Dalam perkembangannya hermeneutik hingga
sekarang ini, hermeneutik minimal mempunyai tiga pengertian. Pertama, dapat diartikan sebagai
peralihan dari suatu yang relative abstrak ke dalam bentuk ungkapan yang
konkret. Kedua, terdapat usaha
mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke
dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca. Ketiga, seseorang sedang memindahkan suatu ungkapan pikiran yang
kurang jelas diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.[15]
Dalam studi hermeneutik, unsur
interpretasi merupakan kegiatan yang paling penting. Sebab interpretasi
merupakan landasan bagi metode hermeneutik. Cara kerja interpretasi bukanlah
dilakukan secara bebas melainkan bertumpu pada evidensi objektif. Semua
interpretasi mencakup pemahaman. Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih
dahulu harus mengerti atau memahami. Mengerti dan interpretasi menimbulkan
“lingkaran hermeneutik”.
Aspek lain dalam hermeneutik yang
sangat penting adalah bagaimana mengungkap makna sebuah teks yang asing. Dalam
memperoleh makna yang sebenarnya dari sebuah teks, dibutuhkan perhatian khusus
untuk mempertimbangkan berbagai variable yang ada.[16]
Dalam konteks studi islam,
hermeneutik biasanya dipahami sebagai sebentuk ilmu tafsir yang mendalam bercorak
filosofis. Contoh pendekatan hermeneutik dalam studi islam adalah analisis
operasional hermeneutik dalam Tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh dan Tafsir
Al Azhar karya Hamka yang dilakukan oleh Fakhruddin Faiz. Dalam kajiannya, Faiz
mengatakan bahwa cara Tafsir Al Manar dan Tafsir Al Azhar dalam mengolah teks
yang berupa kata, kalimat ataupun ayat secara umum adalah dengan menggali dan
melacak makna yang ada di balik apa yang disimbolkan oleh teks.
Pendekatan hermeneutik ini nampaknya
sedang banyak diminati dan dikembangkan dalam studi islam. Walaupun pendekatan
ini tidak diterima oleh seluruh kalangan islam, sebab ada yang melarang, bahkan
mengharamkan penggunaan hermeneutik. Tetapi jika dilakukan analisis secara
cermat, ada banyak kontribusi positif yang dapat dikembangkan dalam mengkaji,
mengembangkan dan menggali khazanah islam dengan pendekatan ini.[17]
H.
Pendekatan Historis
Ditinjau dari sisi etomologi, kata
sejarah berasal dari bahasa Arab syajarah
(pohon) dan dari kkata history dalam
bahasa Inggris yang berarti cerita atau kisah. Kata history sendiri lebih populer untuk menyebut sejarah dalam ilmu
pengetahuan. Jika dilacak dari asalnya, kata history berasal dari bahasa Yunani istoria yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam,
khususnya manusia, yang bersifat kronologis.
Pengertian
sejarah itu juga bisa mengacu kepada dua konsep terpisah. Pertama, sejarah yang tersusun dari
serangkaian peristiwa masa lampau, keseluruhan pengaaman manusia. Kedua, sejarah sebagai suatu cara
yang dengannya fakta-fakta diseleksi,
diubah-ubah, dijabarkan dan dianalisis. Konsep sejarah dengan pengertiannya
yang pertama memberikan pemahaman akan arti objektif tentang masa lampau, dan
hendaknya dipahami sebagai suatu aktualisasi atau sebagai peristiwa itu
sendiri. Adapun pemahaman atas konsep kedua, sejarah menunjukkan maknanya yang
subjektif, seebab masa lampau itutelah menjadi sebuah kisah atau cerita.
Subjektivitas di dalam proses pengisahan itu, antara lain, terdapat kesan yang
disarankan oleh sejarawan berdasarkan pengalaman dan lingkungan pergaulannya
yang menyatu dengan gagasan tentang peristiwa sejarah.
Melalui pendekatan ini, seseorang diajak untuk
memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Pendekatan sejarah ini amat diperlukan dalam memahami agama karena agama itu
turun dalam situasi konkret, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang
mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam menurut pendekatan sejarah
ketika ia mempelajari Al Qur’an sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya
kandungan Al Qur’an itu terbagi menjadi
dua bagian, yaitu; konsep dan kisah sejarah atau perumpamaan.
Pendekatan
historis ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran
secara suksesif sejak dulu sampai sekarang dan akan diiringi secara sepintas
lalu mengenai problematik metodologi itu.[18]
Menurut Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat
normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar pada pengalaman manusia.
Sedangkan ilmu agama dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur
empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
Apabila sejarah
digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk studi islam, maka aneka ragam
peristiwa keagamaan pada masa lampau umatnya akan dapat dibidik. Sebab sejarah
sebagai suatu pendekatan dan metodologi akan dapat mengembangkan pemahaman
berbagai gejala dalam dimensi waktu, dalam hal ini aspek kronologis merupakan
ciri khas dalam mengungkap suatu gejala keagamaan. Konsekuensi pendekatan
sejarah di dalam penelitian agama haruslah dilihat segi prosesual, perubahan,
dan aspek diakronis. [19]
Jika pendekatan
sejarah bertujuan untuk menemukan gejala-gejala agama dengan menelusuri sumber
di masa silam, maka pendekatan ini bisa didasarkan kepada personal historis
atau atas perkembangan kebudayaan pemeluknya. Pendekatan semacam ini berusaha
untuk menelusuri awal perkembangan tokoh keagamaan secara individual, untuk
menemukan sumber-sumber dan jejak perkembangan perilaku keagamaan sesuai dialog
dengan dunia sekitarnya, serta mencari pola-pola interaksi antara agama dan
masyarakat. Pendekatan sejarah pada akhirnya akan membimbing ke arah
pengembangan teori tentang evolusi agama dan perkembangan tipologi
kelompok-kelompok keagamaan.[20]
I.
Pendekatan Psikologis
Psikologis
adalah ilmu jiwa yang menyelididki tentang keadaan jiwa seseorang berdasarkan
cara pikir, tindakan serta perilaku orang tersebut.[21]
Psikologi secar harfiah berasal dari kata psyche
yang berarti jiwa dan logos yang
berarti ilmu. Jadi ringkasnya, psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku dan perbuatan individu yang tidak dapat terlepas
dengan lingkungannya.
Pendekatan yang
digunakan dalam membangun psikologi islam meliputi tiga aspek, yaitu :
·
Aspek skriptualistis, yaitu pendekatan pengkajian islam
yang didasarkan pada teks Al Qur’an dan hadits secara literal.
·
Aspek filosofis, yaitu pendekatan pengkajian psikologi
islam yang didasarkan atas prosedur berfikir spekulatif.
·
Asas sufistik tasawuf, yaitu pendekatan pengkajian
psikologi islam yang didasarkan pada prosedur intuitif, ilham, dan cita rasa.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat
keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan
sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan
tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok
untuk menanamkannya.
Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak
lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa
agama sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan
benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan
adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku
penganutnya.
J.
Pendekatan Sosial-Budaya
Budaya adalah
pikiran dan akal budi. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kebudayaan adalah sebagai hasil kegiatan dan penciptaan
batin manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan kegiatan batin
untuk menciptakan sesuatu. Kebudayaan juga diartikan sebagai hasil daya cipta
manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimiliki.
Kebudayaan yang
demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat
pada data dan empirisnya atau agama yang tampil dalam bentuk formal di masyarakat. Agama yang tampil dalam
bentuk tersebut berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat.
Melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut kita dapat memahami ajaran agama tersebut.
K.
Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama. Pusat
perhatiannya adalah kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial. Sosiologi
didefinisikan secara luas sebagai bidang
penelitian yang tujuannya meningkatkan pengetahuan melalui pengamatan dasar
manusia, kebiasaan-kebiasaan, ritual-ritual, dan pola organisasi serta
hukum-hukumnya.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah
suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Asumsi
dasar pendekatan sosiologi terhadap agama adalah bahwa gejala-gejala keagamaan
dapat dimengerti dengan menganalisisnya sebagai gejala sosial, sebagai sesuatu
yang tercipta dalam hubungan antara manusia, dan karenanya dapat dijelaskan
dengan menggunakan terori-teori yang berlaku dalam ilmu sosial. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan
sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat
dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara
proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.
Jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif,
menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap
masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut :
·
Pertama, dalam Alquran atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar
kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut
Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip
Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan
ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus –
untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
·
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam
Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan
urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan
sebagaimana mestinya.
·
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi
ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu
shalat yang dilakukan secara berjemaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada
shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua
puluh derajat.
·
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan
ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan
tertentu, maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan masalah sosial.
·
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam
bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
Pendekatan
sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis
tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial,
mendorong di tetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, meliputi:
·
Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
·
Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan,
keluarga, masa kanak-kanak, dan usia.
·
Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi
ekonomis, sistem pertukaran, dan birokrasi.
·
Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal,
penyimpangan, dan globalisasi.[22]
Proses
bagaimanapun tentang agama tidak pernah tuntas tanpa mengikutsertakan
aspek-aspek sosiologinya. Agama yang menyangkut kepercayaan serta berbagai
praktiknya benar-benar merupakan masalah sosial dan sampai saat ini senantiasa
ditemukan dalam setiap masyarakat. Agama telah dicirikan sebagai pemersatu
aspirasi manusia, sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat
dan perdamaian bagi individu sebagai sesuatu yang memuliakan dan membela
manusia yang beradab.
Pendekatan
sosiologis memiliki makna yang sangat
penting dalam konteks studi islam. Berbagai dinamika dan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat memerlukan
telaah dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis,
dapat diungkap berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang
unik dari komunitas muslim di berbagai tempat.
L.
Pendekatan Teologis
Hubungan antara teologi dan studi keagamaan sangatlah kompleks, dan sulit
untuk memabahas topik ini, karena menurut sebagian orang “pendekatan teologis
dalam studi agama” bersifat meragukan bahkan debatable. Pendekatan teologis memfokuskan pada sejumlah konsep
khususnya yang didasarkan pada ide theos-logos,
studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Teologi adalah pembahasan materi tentang eksistensi Tuhan
dan tuhan-tuhan dalam dalam sebuah konsep nilai-nilai ketuhanan yang
terkontruksi dengan baik sehingga pada akhirnya menjadi sebuah agama/aliran
kepercayaan.
Teologi sering berpusat pada doktrin. Dalam pendekatan teologis memahami
agama adalah pendekatan yang menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan,
mengklaim sebagai agama yang paling benar, yang lainnya salah sehingga
memandang bahwa paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad.
Pendekatan
teologis dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog
yang saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang ada pada akhirnya terjadi
pembagian-pembagian umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya
kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologis ini agama dapat menjadi buta terhadap
masalah-masalah sosial cenderung menjadi lambang atau identitas yang tidak
memiliki makna.
Pendekatan teologis juga erat kaitannya dengan ajaran pokok dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada keraguan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil prima dengan seperangkat ciri yang khas.
Pendekatan teologis juga erat kaitannya dengan ajaran pokok dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada keraguan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil prima dengan seperangkat ciri yang khas.
Pendekatan
teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara
berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari
Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu,
melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil
dan argumentasi. Pendekatan teologis tersebut menunjukkan adanya kekurangan
yang antara lain bersifat ekslusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran
agama lain. Sedangkan kelebihannya melalui pendekatan teologis normatif ini seseorang
akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada
agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama
lainnya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis
terhadap agama yang dianutnya. Secara ringkas, pendekatan teologi dibagi menjadi tiga, yaitu :
·
Normatif/Apologis
Pendekatan
Teologi Normatif adalah sebuah upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka
ilmu ketuhanan yang menimbulkan keyakinan bahwa agama yang dianutnya dianggap
paling benar dibandingkan yang lain.
·
Teologi
Dialogis
Pendekatan
Teologi Dialogis adalah mengkaji agama tertentu dengan menggunakan perspektif
agama lain. Teologi ini bertolak dari perspektif teologi kristen. Bahkan banyak
digunakan orientalis dalam mengkaji Islam.
·
Teologi
Konvergensi
Pendekatan
Teologi Konvergensi adalah metode pendekatan terhadap agama dengan melihat
unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama/aliran, untuk mempersatukan
unsur esensial dalam agama-agama sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial.
Di akhir ulasan tentang hubungan antara teologi dengan
studi keagamaan, dan pendekatan teologis dalam studi agama ini, dinyatakan
bahwa tujuan hubungan dan pendekatan ini
adalah memahami agama, memahami sistem konseptual agama,memahami berbagai
pendekatan teologis yang diterapkan tradisi keagamaan terhadap agama-agama
lain.[23]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- Yang dimaksud dengan pendekatan dalam konteks studi islam adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
2.
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh berkembang dimasyarakat. Melalui perndekatan ini agama tamapak
lebih akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya
menjelaskan dan memberikan jawabannya.
3.
Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan
suatu transformasi kritis dari perspektif teoretis yang ada dengan menggunakan
gender sebagai kategori analisis utamanya.
4.
Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak
bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar,
melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang
berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok. Pada intinya ada tiga tugas yang harus dipikul oleh
fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari
hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga, meneliti tingkah laku keagamaan.
5.
Tampaknya penelitian
agama memang tidak dapat dipisahkan dari aspek bahasa, karena manusia adalah
makhluk berbahasa sedangkan doktrin agama dipahami, dihayati dan
disosialisasikan melalui bahasa. Istilah
bahasa agama menunjuk pada tiga macam bidang kajian dan wacana. Pertama, ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan obyek
pemikiran yang bersifat metafisi, terutama tentang Tuhan. Kedua, bahasa
kitab suci terutama bahasa Al-Qur'an dan Ketiga bahasa ritual keagamaan.
- Suatu pendekatan filosofis terhadap agama merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pengalaman keagamaan prateologis dan dalam wacana keyakinan, pendedakatan ini sangat erat kaitannya dengan filsafat. Keterkaitan antara keduanya terfokus pada rasionalitas, kita dapat menyatakan bahwa suatu pendekatan filosofis terhadap agama adalah suatu proses rasional. Pada akhirnya, tujuan berbagai pendekatan filosofis dalam studi agama adalah memberikan perangkat-perangkat berfikir tentang sesuatu dan berbincang-bincang dengan orang lain.
- Dalam konteks studi islam, hermeneutik biasanya dipahami sebagai sebentuk ilmu tafsir yang mendalam bercorak filosofis. Contoh pendekatan hermeneutik dalam studi islam adalah analisis operasional hermeneutik dalam Tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh dan Tafsir Al Azhar karya Hamka yang dilakukan oleh Fakhruddin Faiz. Pendekatan hermeneutik ini nampaknya sedang banyak diminati dan dikembangkan dalam studi islam. Walaupun pendekatan ini tidak diterima oleh seluruh kalangan islam, sebab ada yang melarang, bahkan mengharamkan penggunaan hermeneutik.
- Pendekatan sejarah ini amat diperlukan dalam memahami agama karena agama itu turun dalam situasi konkret, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Apabila sejarah digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk studi islam, maka aneka ragam peristiwa keagamaan pada masa lampau umatnya akan dapat dibidik.
- Psikologis adalah ilmu jiwa yang menyelididki tentang keadaan jiwa seseorang berdasarkan cara pikir, tindakan serta perilaku orang tersebut. Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya.
- Kebudayaan diartikan sebagai hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimiliki. Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada data dan empirisnya atau agama yang tampil dalam bentuk formal di masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuk tersebut berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat.
- Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi. Pendekatan sosiologis memiliki makna yang sangat penting dalam konteks studi islam. Berbagai dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat memerlukan telaah dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis, dapat diungkap berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang unik dari komunitas muslim di berbagai tempat.
- Pendekatan teologis memfokuskan pada sejumlah konsep khususnya yang didasarkan pada ide theos-logos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Teologi sering berpusat pada doktrin. Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
B.
Saran
Studi ini merupakan
studi yang dangkal mengenai pendekatan dalam memahami agama islam. Untuk itu
disarankan kepada para akademisi untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam
terhadap persoalan tersebut. Pada tatanan praktis disarankan kepada para generasi muslim
cerdas, agar memperkaya ilmu tentang agama islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abbudin,Nata. Metode Studi Islam. Jakarta: Raja grafindo persada, 2004
Abdullah,
Taufik dan Karim, Rusli. Metodologi Penelitian Agama Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990.
Abdullah,
Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah, 2006.
Abdurrahman,
Dudung. Pendekatan Sejarah.
Conolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: Lkis, 2002.
Daradjat,
Zakiah. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Depdikbud.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
E. Sumaryono. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama, Sebuah
Kajian. Jakarta: Paramadina, 1996.
Koentjaraningrat,
Budi Santoso. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Balai Pustaka, 1978/1979.
Mudzahar,
Atho. Pendekatan Studi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2007.
Mujadid
Abdul Munif. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta:Teras,
2009.
Sayyed Hosein Nasr. Islamic Studies: Essays on Law
and Society, the Science, and Philophy and Sufism. Beirut: Librairie Du
Liban, 1967.
[3] Abdullah, Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta:
Amzah, 2006. Halaman 58
[4]Abdullah, Taufik dan Karim, Rusli. Metodologi Penelitian Agama
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990. Cet. 2.
Halaman 92
[5] Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1989. Halaman 83
[6] Koentjaraningrat, Budi Santoso. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta:
Balai Pustaka, 1978/1979. Halaman 10
[7] Mujadid Abdul Munif. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta:
Bumi Aksara, 2004. Halaman 75-76
[11] Naim, Ngainun. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta:
Teras, 2009. Halaman 106-110
[12] W.B. Kristense. Arti dan Makna Agama, terjemahan Farichin Ch. Bandung: Unisba,
1986. Halaman 2
[14] Sayyed Hosein Nasr. Islamic Studies: Essays on Law and Society,
the Science, and Philophy and Sufism. Beirut: Librairie Du Liban, 1967.
Halaman 64
[15] E. Sumaryono. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1993. Halaman 76
[16] Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian. Jakarta:
Paramadina, 1996. Halaman 13
[17] Naim, Ngainun. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta:Teras,
2009. Halaman 117-120