BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Akhir-akhir ini masalah korupsi kembali
hangat dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun
nasional. Banyak ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini.
Demikian pula upaya pemberantasannya menimbulkan pro dan kontra. Akan tetapi
walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan mreusak sendi-sendi
kehidupan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak
struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama jalannya pemerintahan dan
pembangunan pada umumnya.
Oleh karena itu gaung pemberantasan
korupsi seakan menjadi bumbu yang menarik dan ampuh untuk dibubuhkan dalam teks
pidato para pejabat negara, untuk menunjuk pada public sebagai pejabat yang
bersih dan anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah,
mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai
strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, talk show,
dan berbagai forum lainnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga
dibuktikan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Tapi dalam kenyataan,
korupsi sangat sukar bahkan seakan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh
karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Di samping itu sangat sulit mendeteksinya dengan
dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi
merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari
sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard
kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang
kaya raya dan para politisi korup yang
berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan
sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi di
mata masyarakat.
Tindakan korupsi erat hubungannya dengan
pemerintahan yang totaliter dan diktator yang meletakkan kekuasaan di tangan
segelintir orang. Namun, bukan berarti tindakan korupsi tidak terjadi di negara
bersistem demokrasi. Justru sebaliknya, dewasa ini perilaku korupsi telah
merajalela dan tak pandang bulu.
Menurut pandangan pengamat politik
perilaku korupsi ini berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tindak korupsi yang kian marak ini tentu sangat merugikan negara dan
menyengsarakan rakyat kecil. Tindakan ini muncul yang salah satunya disebabkan
oleh sifat manusia yang tak pernah puas atas nikmat yang telah diberikan Sang
Khaliq.
Hal ini sangat menarik untuk dikaji,
bagaimana realita korupsi yang sebenarnya, dan bagaimana cara mengatasinya dari
berbagai sudut pandang keilmuan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1.
Apa pengertian korupsi?
2.
Apa
saja faktor yang menjadi penyebab terjadinya korupsi?
3.
Apa
akibat dari korupsi yang kian marak di tengah masyarkat Indonesia ?
4.
Bagaimana
cara jitu untuk memberantas korupsi yang sedang merajalela?
C.
Tujuan
Secara akademis Makalah
ini disusun dengan tujuan :
1.
Memahami makna
korupsi .
2.
Mengetahui faktor penyebab
terjadinya korupsi.
3.
Mengetahui dampak yang
ditimbulkan akibat terjadinya korupsi.
4.
Mencari terobosan baru untuk
memberantas korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Tindak Pidana Korupsi
Jeremy Pope dalam bukunya Confronting Coruption: The Element of
National Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan
global yang harus menjadi keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya
sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, diktator yang meletakkan
kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem
sosial-politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah
praktek korupsinya, apabila kehidupan sosial-politiknya tolerasi bahkan
memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan
pelanggaran hak asasi manusia.
Secara terminologis, kata korupsi berasal dari
Bahasa Inggris corrupt, yang berarti jahat, buruk, menyuap, merusak,
mengubah. “Korupsi” merupakan bahasa Indonesia serapan dari verbal noun (kata
benda jadian dari kata kerja/B. Arab: mashdar) corruption yang
berarti suatu bentuk kecurangan atau perbuatan suap. Pelakunya disebut corruptor
(orang yang menyuap).
Dalam Bahasa Arab dikenal istilah risywah (suap),
yaitu pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat atau lainnya
untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk
memperoleh kedudukan (Sayyid Sabiq, 405-406). Ringkasnya, perbuatan suap
merupakan korupsi walau dalam pengertian tersebut hanya dilakukan seorang
bermasalah terhadap pemerintah.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia ( KBBI) korupsi didefinisikan sebagai penyelewengan atau penggelapan uang Negara
atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sedangkan menurut
UU no.31 th.1999 dan UU no.20 th.2001
korupsi adalah perbuatan melawan hukum
dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan
keuangan atau perekonomian Negara
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan
salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap
sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk
memperkaya diri sendiri.[1]
B. Memahami Tindakan Pidana Korupsi di
Indonesia.
Indonesia
merupakan negara yang cukup terkenal dengan budaya korupsi masyarakatnya.
Sebagai anak negeri yang peduli dengan kondisi bangsa, fakta ini tentulah
dirasakan sebagai hal menyedihkan yang dapat mencoreng nama, harkat dan
martabat Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia.
Korupsi
di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu
pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling
rendah.
Maka
dari itu memahami tindak pidana korupsi di Indonesia, setidaknya bisa
menggunakan tiga pendekatan. Tiga pendekatan tersebut yaitu, pertama, tawaran Sayed Husen Allatas (1999 pertama diterbitkan pada
1968) yang melihat peranan segelintir orang atau tokoh yang berintegritas
tinggi, sebagai refleksi atas gejala korupsi di Asia, terutama Indonesia dan
Malaysia. Tawaran ini lebih dekat pada situasi korupsi pada masa orde lama,
yaitu tindak korupsi yang didominasi kelompok dan individu yang memiliki akses
ke pusat kekuasaan. Kondisi seperti ini, menurut Revrisond Baswier, sangat
didukung oleh sistem yang sentralistik (Suara Pembaruan, 21/3/2003). Walaupun
banyak partai politik, tetapi karena sama sekali tidak mempunyai kepedulian
terhadap isu korupsi, seperti juga saat sekarang, di mana dapat disaksikan,
walaupun semua partai menjanjikan untuk memberantas KKN, tetapi hal itu
hanyalah orasi di panggung-panggung kampanye semata. Meskipun demikian,
analisis sejarah terhadap tindak korupsi pada masa kekuasaan Soekarno sangat
sulit dilihat, karena masyarakat termanipulasi oleh semangat perjuangan untuk
membentuk negara republik ini.
Kedua,
tawaran William J Chambliss (1973) yang cenderung menganggap korupsi sebagai
bagian tak terpisahkan (integrated) dalam birokrasi, yang diakibatkan
oleh adanya konflik kepentingan antara kepentingan segelintir pengusaha,
penegak hukum, birokrat, dan politikus sebagai komplotan rahasia yang tertutup.
Komplotan ini sangat sulit dibongkar dari dalam dan tak mudah diubah dari luar.
Gejala yang ditangkap oleh William J Chambliss adalah hasil refleksi praktik
korupsi di sebagian besar kota di AS. Model ini sesungguhnya bisa dikatakan
mewakili praktek-praktek korupsi pada masa Orde Baru, di mana terjadi
perkawinan kuat, antara istana (kekuasaan pemerintahan) dengan militer dan pemodal.
Kolaborasi ini tidak saja kukuh, tetapi juga sulit tersentuh, sehingga
menyebabkan banyak pihak tidak dapat mengusik kolaborasi ini. Bahkan korupsi
pun bisa dibuat legal, formalnya dalam bentuk Keputusan Presiden misalnya,
sehingga secara awam, hampir-hampir tidak lagi sebagai tindak korupsi.korupsi
menjadi sesuatu hal yang sangat wajar, karena kronisme yang sudah mendarah
daging.
Sebuah
situasi yang sangat buruk, karena pada masa Orde Baru, baik kalangan anggota
MPR/DPR, menteri dan seluruh elemen organisasi masyarakat tentu saja organisasi
korporasi negara, bisa selalu satu suara dalam setiap pengambilan keputusan.
Tak satupun elemen masyarakat yang berani berseberangan, jika saja muncul
perlawanan, selalu akan muncul peraturan-peraturan baru yang bisa membuat
kelompok kritis ini tiarap sama sekali. Belum lagi tindakan-tindakan represif
tentara yang menggunakan jargon-jargon pancasila dan tindakan subversif, secara
pasti maupun membungkam kekritisan masyarakat.
Kerakusan
ini semakin memuncak, ketika secara jelas tanpa malu-malu, kelompok-kelompok
kekuasaan mengangkat keluarga dekat menjadi kroni di DPR. Pilihan ini sangat
sistematis, karena seluruh pengambilan kebijakan ada di lembaga tinggi negara
ini. Maka lengkaplah sudah upaya-upaya pelegalan tindak korupsi di Indonesia.
Ketiga,
tawaran Milovast D Jilas (1966, pertama diterbitkan pada 1957) tentang
munculnya new class di negara sosialis, yang direfleksikan dari pengalaman Uni
Soviet dan Yugoslavia. Kelas baru ini menurut Jilas lahirdari kekuasaan politik
dan ekonomi yang ada di suatu elit nasional dari sentral Partai Komunis untuk
mempertahankan kekuasaannnya. Gagasan ini bisa dijadikan pembacaan tindak
korpsi pada masa reformasi sampai sekarang, meskipun tidak persisi serupa.
Praktik korupsi mengalami proses metamorfosis seiring dengan pergeseran
kekuasaan dari otoritarianisme masuk ke dalam perkembangan baru, yang disebut
masa transisi demokrasi. Kalau pada masa Orde Baru para pelaku langsung korupsi
harus menggunakan gerbang istana atau setidak-tidaknya harus setor ke istana,
tetapi di masa reformasi ini korupsi dilakukan secara sporadis dengan semakin
luas pelakunya. Tidak berlebihan, jika fenomena korupsi kemudian disebut
sebagai democratic corruption lahirnya pusat-pusat kekuasaan baru di
luar istana misalnya parlemen dan partai politik memasuki babak baru model
korupsi dari sistematisasi korupsi, masuk dalam korupsi yang sistemik.
Kenyataan ini mematahkan argumentasi korupsi hanya tumbuh subur dalam
pemerintahan yang otoriter. Liberalisasi politik pada akhirnya juga melahirkan
liberalisasi korupsi.[2]
C. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak
Pidana Korupsi
Ada
banyak hal yang menyebabkan kasus-kasus korupsi itu muncul di pikiran para
pejabat sebuah negeri. Bukan hanya orang miskin yang mau melakukan korupsi,
bahkan orang yang sudah kaya raya pun tetap gemar melakukan korupsi. Tentunya dengan jumlah dan porsi
yang lebih besar dibandingkan orang miskin. Berikut ini hal-hal korupsi
mendasar yang bisa memicu seseorang untuk melakukan kasus-kasus:
1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat tamak manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b. Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
c. Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
d. Kebutuhan hidup yang mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseorang menjadi konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
c. Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai.
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi
Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi
Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.
Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif.
Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan perundang-undangan.
Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
D. Akibat-akibat Tindakan Korupsi
Saat ini korupsi sudah menjadi cerminan bahwa sudah menurunya ahlak para pemimpin di Negeri ini. Tidak hanya berasal dari kalangan atas saja, dari kalangan bawah pun perilaku tidak terpuji ini sudah menjadi habit (kebiasaan). Tak dapat dipungkiri bahwa kita sebagai masyarakat awam pun sudah merasakan akibatnya dari tindakan korupsi tersebut. Sebagai contoh yaitu pengaspalan jalan- jalan utama yang ada di Indonesia, seharusnya daya tahan dari aspal pembentuk jalan itu dapat dijamin ketahanannya hingga beberapa tahun kedepan, tetapi apa yang kita lihat pada faktanya, aspal yang baru dibuat sudah mulai rusak dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan setelah pembuatannya, Aksi pegawai pajak, Gayus Tambunan yang diduga mengkorupsi uang pajak senilai Rp 25 milyar membuat rugi banyak orang. Maka dari itu bisa diambil kesimpulan bahwa akibat-akibat korupsi adalah sebagai berikut :
a.
Sangat berbahaya bagi segala aspek kehidupan manusia. Baik dari segi
politik,sosial,
budaya, ekonomi dan birokrasi.
- Korupsi akan memunculkan rasa individualis yang tinggi, egoisme dan tiadanya ketulusan dalam suatu hubungan atau relasi.
c.
Korupsi menimbulkan perbedaan yang
sangat menyolok antara si kaya dan si miskin.
d. Korupsi sangat berbahaya bagi standar
moral di dalam
masyarakat, saat mereka menganggap korupsi adalah suatu hal yang biasa. Terutama bagi pemahaman generasi
muda.
Begitu
besarnya bahaya korupsi bagi kehidupan manusia, sehingga semua orang
harus ikut berperan aktif dalam memberantasnya. Pemerintah
juga diharuskan tegas dalam menindak kasus korupsi dan menghukum para koruptor.
Serta memberikan gaji yang layak buat para pegawai negeri
sipil sehingga bisa meminimalisir terjadinya
korupsi.
Demikian juga dengan para pembuat peraturan
perundang-undangan di dalam gedung DPR/MPR. Inilah saatnya untuk membuat undang-undang antikorupsi
yang efektif dan tepat sasaran.
Demikian pula dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama, juga harus
proaktif mengingatkan masyarakat tentang bahaya korupsi bagi masa depan bangsa.
Juga media yang bisa ikut berperan dengan cara membentuk opini agar publik
terpanggil untuk memerangi korupsi.
Dengan adanya sinergi dan komitmen yang solid dari setiap
lapisan masyarakat, bukannya tidak mungkin negara ini akan bebas dari belitan
korupsi. Sehingga Indonesia di masa depan akan terhindar dari kerusakan parah akibat korupsi.
F. Upaya Penanggulangan
Tindakan Korupsi
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu
saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara
terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap
mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan
segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi
secara tuntas dan bertanggung jawab. Menurut hasil survei dari transparency.org,
sebuah badan independen dari 146 negara, tercatat data 10 besar negara yang
dinyatakan sebagai negara terkorup, dan Indonesia menempati urutan kelima
dunia, dan urutan pertama Negara terkorup se-Asia-Pasifik. [3]
Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi
penyebab korupsi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya,
dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menangkalnya,
yakni :
1. Menegakkan
hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
norma-norma lainnya yang berlaku.
2. Menciptakan
kondisi birokrasi yang ramping struktur dan kaya fungsi. Penambahan/rekruitmen
pegawai sesuai dengan kualifikasi tingkat kebutuhan, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas
3. Optimalisasi
fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul
melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis.
4. Mendayagunakan
segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat yang
sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki
tindakan-tindakan korup dapat ditutup.
5. Adanya
penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan
kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani
kasus korupsi.
6. Semua
elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki
idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara
objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan
penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
7. Melakukan
pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau
penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga
baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai
oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan
dapat disalahgunakan, diselewengkan atau dikorup.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Jeremy
Pope dalam bukunya Confronting Coruption:
The Element of National Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi
merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatinan semua orang. Penggunaan istilah KKN itu sendiri
merupakan distorsi dari makna korupsi, sehingga korupsi dimaknai lebih luas
mencakup segala macam bentuk penyelewengan, baik itu berkaitan dengan uang atau
aset, penyalahgunaan kekuasaan, kecurangan, pengambilan hak milik orang lain
secara paksa, penyuapan level bawah ke atas dengan level atas ke bawah dengan
maksud menutup-nutupi kejahatan.
2.
Terjadinya korupsi yang kian marak
terjadi di Indonesia bukan tanpa sebab yang mendasar tentunya, kasus-kasus
korupsi yang muncul dari masyarakat atasan sampai merambat ke masyarakat rendah
ini terdapat banyak faktor penyebab yang memicu terjadinya tindakan korupsi itu
sendiri. Hal ini dapat ditinjau dari tiga aspek, pertama, aspek individu
pelaku, kedua, penyebab yang dilihat dari aspek organisasi, ketiga, penyebab
yang ditinjau dari aspek tempat individu dan organisasi berada.
3.
Tindakan korupsi dapat berakibat
fatal bagi segala aspek kehidupan manusia baik segi politik, ekonomi, budaya
dan birokrasi. Salah satunya korupsi dapat menghambat pembangunan negara yang
banyak merugikan negara serta mengkhianati cita-cita perjuangan bangsa.
4.
Korupsi merupakan persoalan bersar
bagi suatu bangsa, oleh karena itu penanggulangannya harus dilakukan dengan
berbagai cara baik melalui tindakan prenventif maupun represif.
B.
Saran
Studi ini baru merupakan studi yang dangkal mengenai
pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk itu disarankan kepada para akademisi
untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dan lebih mendetail terhadap
persoalan tersebut. Pada tatanan praktis disarankan kepada generasi muda untuk
memperkaya ilmu pengetahuan tentang dunia perpolitikan terutama korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
A.S.
Burhan dkk. Memerangi Korupsi, Jakarta : Kemitraan Partnership
dan P3M, hal 56
Kartono,
Kartini. Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali
Press. Hal . 23
Jeremy Pope. Confronting Coruption: The Element
of National Integrity System (ebook)
Suara
Pembaruan, 21/3/2003
MAKALAH
KORUPSI
DAN PERMASALAHANNYA
Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir
Semester mata kuliah IAD/ISD/IBD
Dosen pengampu : Hj. Kamila Adnani, M.Si
Disusun oleh :
Chelin Indra
Sushmita
PRODI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
JURUSAN
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN DAKWAH
IAIN
SURAKARTA
NOVEMBER 2012
[3] http://forum.detik.com/daftar-10-negara-terkorup-di-dunia-2012-t364858.html.
Diakses 24 November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar